Sesuai janji saya, posting tentang film Habibie-Ainun..
Saya lihat sudah banyak blog yang mereview tentang film yang sedang booming di negeri ini, Habibie-Ainun. Kali ini saya ingin mengulas film ini dari sisi saya, yang justru sama sekali tidak menggambarkan kisah cinta mereka berdua.
Saya menonton film ini beberapa hari lalu, berempat dengan suami, Ibu, dan Adik saya. Bapak saya nggak mau ikut walaupun kami sudah memaksa. Beliau bilang, "males ah, udah baca resensinya". Baiklah kami memaklumi karena memang Bapak kurang suka nonton ke bioskop.
Kalo Pak SBY dan istrinya mengaku menangis di 30 menit terakhir, saya justru di 30 menit awal sudah menangis. Pokoknya sejak Habibie kuliah dan mulai menyinggung-nyinggung pesawat terbang. Saya ingat Bapak. Sekarang saya tahu alasan sebenarnya Bapak keukeuh nggak mau nonton film itu.
Tangisan saya semakin menjadi-jadi ketika adegan di hanggar PT Dirgantara Indonesia. Ketika Habibie mengunjungi para pekerja di sana yang semangat membuat pesawat N250, pesawat buatan anak bangsa. Tangisan saya makin parah bahkan sampai berisik sesenggukan ketika penerbangan perdana pesawat tersebut. Saya menggenggam erat tangan suami saya, nggak kuat lagi dengan apa yang dilihat (dan diingat). Ketika masih scene itu, Ibu saya yang duduk di sebelah IS menoleh dengan mata yang juga berair. Ia bilang "pantesan Bapak nggak mau nonton". Makin menjadi-jadilah tangis saya. Mungkin penonton lain yang dengar sedu sedan saya merasa aneh. Scene yang seharusnya membuat kita bangga, justru membuat hati kami sakit. Sakit sekali.
Scene-scene selanjutnya tentang kisah cinta Habibie-Ainun hanya membuat saya terharu dan malah jadi terkesan biasa aja dengan romansa kisah cinta seperti itu.
Buat saya, film Habibie-Ainun justru bukan menggambarkan kisah cinta mereka, melainkan perjuangan Pak Habibie selama 32 tahun mewujudkan impiannya untuk memajukan Indonesia, dan malah berakhir tragis :si Krincingwesi cuma teronggok di gudang. *nangis lagi*
Ternyataaa, bukan saya aja yang berpendapat seperti itu. Vidya, temen kantor, juga punya pendapat yg sama. Begitu pun dengan mba Tiffa kalo dilihat dari opininya di twitter. Film ini adalah tentang perjuangan Krincingwesi.
Lalu, apa hubungannya dengan Bapak saya nggak mau nonton? Kenapa saya sampai menangis hebat? Kenapa kita (saya, Ibu, dan adik) merasa sakit hati? Hmmm, entah apa namanya ini. Apakah dendam pribadi atau apa?
Bapak saya adalah salah satu tim teknis yang membuat Sang Krincingwesi.
Beliau bilang, "itu bagian depan N-250 saya yang buat lho".
Saya ingat, dulu waktu saya masih SD, tahun saat Krincingwesi sedang diproses, Bapak saya sangat bangga bahwa ia adalah salah satu tim yang akan mengukir sejarah di Indonesia, merakit pesawat terbang pertama buatan anak bangsa. Saya ingat betul bagaimana sorot matanya yang menyimpan harapan besar terhadap Krincingwesi. Harapan akan majunya bangsa ini, bahwa bangsa kita akan segera mandiri. Sorot mata itu... Harapan itu...
Meredup seiring dengan waktu yang menjawab : Krincingwesi hanya menjadi sejarah. Singkat saja, ia masuk gudang karena gak ada biaya untuk produksi, Tuan rumahnya banyak hutang, ia jadi korban. Gak jauh dengan Krincingwesi, karyawan pun lama kelamaan kena imbasnya juga. Bapak saya diberhentikan. Begitu pun dengan teman-teman seperjuangannya. Sakit hati bukan? Eeeh, udah sakit hati gitu, dipanggil kerja di situ lagi tapi kok caranya gitu? Perusahaan yang aneh.
Bapak, yang udah terlanjur sakit hati, lebih memilih mencari pekerjaann di negara lain. Kata Bapak, negeri ini ga bisa menghargai skill anak bangsanya, negara lain lebih menghargai kita ( lihat aja Habibie. di Indonesia, dia disia-sia).
Air mata saya makin deras saat Habibie dateng ke gudang nengokin Krincingwesi. Dia sakit hati, rupanya. Saya jelas ingat Bapak saya lah.
Lalu kenapa saya sakit hati? Secara tidak langsung, perusahaan itu yang membuat keluarga saya menjadi keluarga LDR. Yang membuat Bapak saya sakit hati dan lebih memilih mengabdi untuk negara lain. So far, sudah 8 tahun Bapak saya di negeri seberang. Hehhe, Bapak saya sering pulang ke Indonesia kok. Do you know, punya hubungan LDR itu sesungguhnya nggak enak. Sama pacar aja nggak enak, apalagi sama ortu sendiri, apalagi sama suami *eeaaa, tetep curhat*
Sekarang, setelah 8 tahun, walopun masih suka sedih dan kangen karena jarang ketemu Bapak, saya tetap bersyukur. Karena saya yakin, dan Bapak pun sering bilang, kalo Bapak masih kerja di perusahaan itu, hidup kami mungkin nggak akan seperti ini. Mungkin Bapak harus menabung ekstra ketat untuk memenuhi kebutuhan kami. Yap, tiap kejadian pasti selalu ada hikmahnya. Jadi, harus tetap disyukuri. :")
Oke, that's my opinion about this movie. No offense.
Adios!!
Published with Blogger-droid v2.0.9